Jumat, 04 Januari 2013

KINANTI


Hampir setiap petang ketika Udin  selesai dengan pekerjaannya di Rumah Meubel milik pamannya, dia selalu menyempatkan diri mampir di warung Mbok Nah. Warung dipojok Gang yang sangat sederhana itu memang kerap kali menjadi tempat tongkrongan anak-anak muda yang bekerja di Rumah Meubel Pak Kardi. Disitu mereka asik bersenda gurau, ngobrol-ngobrol sambil menikmati secangkir kopi dan gorengan.
 
 
Susana sore itu sepi, tampak Udin duduk merenung di bangku dekat jendela. seorang wanita tua menyodorkan secangkir kopi dihadapannya, Udin masih tidak bergeming.
“Oalah...Din,  lagi nglamun opo tho?” tanya si Empunya warung yang akrab dipanggil Mbok Nah. Udin gelagapan dan hanya tersenyum tipis, sambil mengaduk-aduk kopi dihadapannya, lalumenyeruputnya. Setelah itu dia menghela nafasnya panjang. Memandang jauh keluar jendela.
“Susah Mbok, jaman sekarang ini,” keluh Udin.
“Memang ono opo tho cung?” Mbok Nah balik bertanya, lalu duduk disebelah Udin. Belum juga Udin menjawab, datang seorang pelanggan, Mbok Nah segera berdiri melayani pelanggan itu yang tak lain adalah Yanto, tetangga Udin.
“Lho Dik Udin, sudah lama?” sapa Yanto
“Belum Kang!” Udin segera menyalami Yanto. Lalu mereka berdua terlibat obrolan
“Perusahaan bangkrut, kayu lagi sepi, orderan juga berkurang, bingung Kang!”keluh Udin
“Ya..memang jaman sekarang itu serba susah Dik, wong tadi si Atik minta bayar sekolah, saya belum bisa memberi, dagangan juga sepi, sawah kering.”timpal Yanto.
Nek pancen wong cilik kuwi yo nrimo wae Cung, saiki opo-opo larang, opo-opo kudu ngirit”Mbok Nah ikut menimpali, di balik meja sambil membolak-balik gorengan.
 
Tiba-tiba datang seorang gadis, masuk dari dalam rumah. Gadis itu tersenyum pada Udin dan Yanto, kemudian membantu Mbok Nah mengangkat gorengan. Udin terpana akan ke-ayuan gadis itu. Rambutnya yang hitam panjang terurai, senyumnya yang sederhana sempat menawan hati
 
 
“Siapa Mbok?” tanya Udin, ketika gadis itu balik lagi kedalam.
Mbok nah tersenyum” Kinanti, ayu tho?”
Udin tersipu
“Lha mbok gitu, dari tadi mbrengut?”
“Seluruh keluarganya meninggal, kena gempa, rumahnya di Bantul ajur, kasihan, padahal dia itu anaknya rajin, dia lulusan SD,sebetulnya anaknya pinter, tapi orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya kalau harus melanjutkan.”Ujar Mbok Nah
“Kasihan ya Mbok?”
 
 Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Kinanti, Udin jadi sering kelihatan di Warung Mbok Nah, mereka juga semakin akrab. Hari ini pagi sekali Udin sudah nongkrong di situ. Tampak berseri dan bersemangat menanti pujaan hatinya, dia tidak perlu menunggu lama, akhirnya Kinanti nampak juga, lalu menyapanya, dan tersenyum lugu. Kemudian menyuguhkan secangkir kopi pesanan Udin. Dia masih saja takjub mengamati kelembutan senyum gadis itu.
Suatu sore, ketika warung Mbok Nah sepi, saat sang bayu ramah menyapa, Udin menikmati secangkir kopi hangat dan pisang goreng. Sore itu hanya dia dan Kinanti yang ada di warung itu. Mbok Nah sedang pergi menghadiri hajatan dirumah tetangga, jadi Kinanti yang bertugas menjaga warung.
 
 Suatu sore, ketika warung Mbok Nah sepi, saat sang bayu ramah menyapa, Udin menikmati secangkir kopi hangat dan pisang goreng. Sore itu hanya dia dan Kinanti yang ada di warung itu. Mbok Nah sedang pergi menghadiri hajatan dirumah tetangga, jadi Kinanti yang bertugas menjaga warung.
“Ti, kamu sudah punya pacar belum?” tanya Udin pelan sekali, untung Kinanti mendengarnya jadi Udin tidak perlu mengulangi pertanyaannya, Kinanti hanya menggeleng kecil dan tersipu.
Udin tersenyum”Jadi saat ini kamu tidak punya pacar Ti?” tanya Udin memastikan. Kinanti mengangguk. “Ah, masak gadis secantik kamu gak punya pacar, aku gak percaya.”
“ Memang saya belum punya kok mas, memang mas mau nyariin?”goda Kinanti
Udin tertawa kecil,Bdan geleng-geleng kepala, lalu menyeruput kopinya.
 
 “ Aku sendiri juga masih kosong Ti” lalu mereka berdua tersenyum tersipu.
Langit yang menampakkan semburat merah, seakan ikut melukiskan asa yang sedang menggelayuti hati kedua muda mudi yang dimabuk asmara itu, jingga merona meniupkan aroma romantisme di penghujung senja. Tiba-tiba Udin meraih jemari Kinanti, lalu menatapnya sangat dalam. Kinanti tampak kaget dan gugup.
“Maukah kau jadi kekasihku?” ucap Udin lirih, Kinanti tak menyangka, akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulut Udin, orang yang selama ini juga dikasihinya meski Cuma diam-diam. Kinanti mengangguk perlahan, dia tak sanggup bicara. Lalu Udin tersenyum dan memeluk Kinanti.
Beberapa minggu kemudian mereka memutuskan untuk tunangan dan akan menikah beberapa bulan kemudian. Hari-hari mereka lalui dengan penuh suka cita dan cinta. Udin mulai giat menabung untuk persiapan pernikahannya.
 
 Keesokan paginya, seperti biasanya Udin berangkat kerja ke Rumah Meubel. Sampai ditempat kerja, Udin merasa heran, tidak seperti biasanya Rumah Meubel itu sepi. Udin kemudian dipanggil seorang wanita setengah baya, dia adalah istri Pak Kardi, Bu Lek Udin. Wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu tergopoh-gopoh menghampiri Udin.
 
“Pak Lekmu Din!”teriaknya sambil lalu tersedu-sedu menangis merangkul Udin
Udin masih bingung, kemudian dia mencoba menenangkan Bu Leknya itu, dan membawanya kedalam rumah. Setelah didudukkannya wanita itu, kemudian Udin bertanya.
 
 
“Ada apa Bu Lek? Pak Lek Kardi kenapa?”
“Pak Lekmu tadi ditangkap polisi!” lalu Aminah, menangis tergugu-gugu. Udin sangat kaget, bagaikan disambar petir, baru kali ini keluarganya berurusan dengan polisi.
“Memangnya kenapa, kok sampai urusan dengan polisi tho?
“Semalam Polisi kesini, dia menangkap Pak Lekmu karena membeli kayu ilegal, Bu Lek juga ndak tahu Din, kok jadinya malah begini,”ungkap Aminah sambil terus masih terisak. Udin tercengang mendengar berita itu. Dia tidak menyangka, selama ini Pak Leknya berbuat curang. Udin tidak tega melihat Buleknya menangis dihadapannya dan Lury, anak semata wayang mereka yang masih kecil. Terus bagaimana dengan usaha mereka, bagaimana dengan kehidupan mereka, bagaimana nasib Bu leknya dan keponakannya yang masih 4 tahun itu? Udin tidak pernah membayangkan akan terjadi kasus yang demikian berat.
Dengan langkah gontai, Udin menyusuri jalan menuju warung, dia tidak tahu akan dibawa kemana nasibnya kini, Rumah Meubel milik Pamannya otomatis disegel dan ditutup. Terus bagaimana dengan nasib para karyawan-karyawan lainnya yang sudah berkeluarga dan menggantungkan nasibnya di Perusahaan itu. Langkah Udin semakin berat ketika mengingat wajah ayu Kinanti. Bagaimana tentang rencananya akan melamar gadis itu? Kini dia sudah tidak memiliki pekerjaan. Bagaimana kehidupannya akan berjalan, bagaimana bisa dia menafkahi Kinanti nantinya, apakah dia akan bahagia bila hidup bersamanya yang seorang pengangguran ini?
“Sudahlah Ti, jangan nangis, Mas gak akan ninggalin kamu, Mas akan kembali lagi setelah mendapat pekerjaan dan cukup uang untuk pernikahan kita nanti.” Udin membelai rambut Kinanti, gadis itu terus menangis dibahunya. Sebenarnya dia sangat berat meninggalkan Kinanti,ntapi disisi lain dia tidak boleh menganggur lama-lama, dia harus mencari pekerjaan, dan satu-satunya jalan adalah pergi ke kota. Entah apa yang bisa dikerjakan seorang lulusan SMP seperti Udin. Dengan berat Kinanti melepas kepergian kekasihnya itu untuk mencari pekerjaan di kota.
Setiap bulan Kinanti mendapat kiriman surat dari Udin, dia selalu menceritakan bahwa dia sudah mendapat pekerjaan, menjadi karyawan di pabrik sebuah perusahaan besar. Dengan gaji yang cukup besar untuk seukuran orang desa seperti mereka, bahkan Kinanti juga mendapatkan kiriman uang yang tidak sedikit, dan Kinanti selalu menabungnya, dia selalu berharap kekasihnya itu akan segera pulang.
Beberapa tahun telah berlalu, akhirnya Udin pulang. Menjemput Kinanti. Mereka menyelengarakan pesta pernikahan yang sangat meriah, rupanya Udin telah menjadi orang sukses. Pesta itu sangat mewah dan meriah, seluruh sanak keluarga Udin dan Kinanti hadir, termasuk Mbok Nah yang juga saudara Kinanti.
Akan tetapi ditengah kebahagian dan kemeriahan acara pesta tiba-tiba para tamu undangan dan sanak keluarga beserta pasangan pengantin itu sendiri dikejutkan oleh kehadiran beberapa aparat polisi. Yang kemudian menghampiri mempelai pria dan memborgolnya, Kinanti terkejut, menangis dan meronta, terus mengenggam erat lengan suaminya itu.
“Ada apa ini?” tanya Ayah Udin,mencoba melerai  ketika melihat keributan itu.
Aparat polisi itu menjelaskan, mengapa Udin ditangkap. Kinanti sangat kaget, terkejut mendengar semua itu. Hingga pingsan. Suasana pesta yang meriah itu menjadi kalang kabut dan kacau, para tamu undangan berhamburan pulang. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia itu menjadi hari paling muram bagi Udin dan Kinanti.
Udin ditangkap karena dia adalah seorang bandar narkoba, ternyata selama ini Udin menjadi bandar narkoba di kota besar, tidak heran kalau tiba-tiba dia menjadi kaya mendadak, mampu membeli segala macam perabotan dan mobil mewah serta rumah yang cukup besar.
 
Apa yang menyebabkan Udin menjadi begini, banyak sekali “mungkin-mungkin” yang akan kita utarakan. Mungkin karena keadaan yang memaksa,mungkin karena faktor ekonomi yang mendesak, mungkin karena cintanya kepada Kinanti, mungkin karena dia putus asa, atau mungkin.....dan mungkin.......
 

 
 

 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes